Jumat, 28 November 2008

GEDUNG KESENIAN, DKL, DAN KOSTELA DALAM BAYANG-BAYANG MODERNITAS

Imamuddin SA

Dapat dibilang, nasib Dewan Kesenian Lamongan dewasa ini masih sangat memperihatinkan. Bagaimana tidak, menjelang pesta kesenian yang kerap dikenal dengan istilah Lamongan Art yang kesekian kalinya ini masih saja seperti kemarin-kemarin. Ia masih belum memiliki gedung kesenian secara independen. Padahal, sudah berapa tahun janji itu diujarkan, tapi masih belum terealisasikan juga.
Kehidupan kesenian di Lamongan dapat dibilang nomaden. Ia tidak memiliki tempat mukim yang tetap. Jika kita telisik lebih jauh lagi, kehidupan semacam ini semestinya dapat kita temui dalam zaman pra-sejarah. Atau mungkin orang primitif lah. Tapi sekarang ini, orang primitif sudah banyak yang memiliki tempat mukim yang tetap loh. Mengapa tidak dengan kesenian di Lamongan.

Jika dicermati, kehidupan nomaden kesenian di Lamongan semestinya sudah tidak zamannya lagi. Mengapa demikian? Karena hal itu sudah tidak seimbang dengan modernitas yang telah dicapai Lamongan saat ini. Kemajuan di segala bidang menunjukkan grafik yang sangat tinggi. Pembangunan terjadi di mana-mana. Ini sungguh riskan, bukan? Tapi jika tujuan nomadennya kesenian itu memang dicipta oleh Pemkot Lamongan untuk mengenang zaman pra-sejarah sih tidak apa-apa. Sebab itu sebagian dari tujuan yang mulia. He...he...he...

Lebih-lebih saat menjelang acara Lamongan Art, DKL selalu dipusingkan dengan masalah tempat penyelenggaraannya. Mau ditempatkan di sinilah. Di tempatkan di sanalah. Di gedung Olahragalah. Di Gedung Korprilah. Atau yang lainnya. Menurut hemat saya sih, tidak dibuatkan gedung kesenian tidak apa-apa. Tinggal ganti nama gedung yang sudah tidak efisien lagi dalam penggunaannya saja. Mungkin itu sudah cukup! Ambil contoh Gedung Korprilah. Toh pada dasarnya gedung tersebut kebanyakan kerap dipakai sebagai acara resepsi pernikahan.

Apa bedanya sih resepsi pernikahan dengan kesenian? Resepsi pernikahan merupakan sebagian dari tradisi dan kebudayaan. Selain itu, dalam resepsi pernikahan juga kerap diiringi dengan pentas seni. Jika melihat kronologis semacam itu, sudah tepatlah jika gedung itu namanya diganti dengan nama yang baru: Lamongan Art Room. Lebih keren bukan! Namun ini hanya omongan nyleneh. Tidak perlu ditaggapi dengan serius. Ya, jelek-jeleknya wujudkan saja gedung itu. Biar pekerja seni di Lamongan berhenti nomaden. Dan lebih khusyuk menyuarakan Lamongannya.

O ya, dengar-dengar Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan) juga ingin mengadakan kegiatan. Itu di luar kegiatan rutin Candrakirana. Katanya sih awal tahun 2009. Entah kegiatannya dalam bentuk apa, masih belum jelas beritanya. Mendengar kabar itu, secara pribadi, saya bangga. Sebab keindependenannya kembali disuarakan. Dengan penyuaraan itu, Kostela lebih punya identitas pribadi yang jelas. Jati dirinya dapat diketahui.

Kalau melihat akhir-akhir ini, eksistensi kegiatan Kostela berada dalam bayang-bayang DKL. Seolah tidak ada kegiatan jika DKL tidak mengadakan kegiatan. Mungkin itu pengaruh dari orang-orang yang ada di dalamnya yang kebanyakan tercakup dalam anggota kepengurusan DKL. Padahal jika meninjau lebih ke belakang, katanya sih keberadaan Kostela itu lebih sepuh ketimbang DKL. Dulu, secara intens Kostela secara independen berani membuat antologi-antologi karya sastra, khususnya puisi. Mulai dari Imajinasi Nama, Anggrek Bulan, Rebana Kesunyian, dan lain-lain yag kesemuanya itu terbitan dari Kostela. Meskipun dalam bentuk yang sederhana. Selain itu, Kostela juga menggagas berdirinya majalah sastra Indupati. Dan nama Indupati pun sampai terdengar dikalangan sastrawan luar pulau juga. Memang luar biasa. Namun entah mengapa, cahaya tersebut belakangan ini sedikit meredup. Dan mungkin hal-hal itulah di awal tahun 2009 besok yang kembali dikobarka. Hingga membakar jiwa-jiwa yang kering dalam berkesenian dan bersastra.

Sungguh sangat penting penyuaraan identitas pribadi itu. Karena dengan melakukannya, seseorang atau komunitas dapat dikatakan hidup, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan yang heterogen ini. Ia tidak hidup membatu, tetapi juga berjalan, bergerak dan menggapai satu tujuan dan cita-cita yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Forum Sastra Lamongan

Imamuddin SA

Penulis bernama asli Imam Syaiful Aziz. Lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.