Kamis, 01 Januari 2009

MENTARI KECIL DI BONEO Sisi Lain Film Denias; Senandung Di atas Awan

Imamuddin SA

Denias; seorang anak kecil yang sangat luar biasa. Ia memiliki tekad yang kuat dalam menggapai impian dan cita-citanya. Laksana menerjang badai, ia mencoba mengubah masa depannya. Selain itu juga ingin mengubah image masyarakatnya yang sangat tabu dengan pendidikan formal. Maklum, ia hidup dalam kultur masyarakat suku Boneo yang terdapat di pedalaman Irian Jaya, khususnya daerah Papua.
Pada dasarnya keberadaan suku Boneo cukup banyak. Mereka hidup di berbagai daerah. Ada yang di Amerika, Brunai, Malaisia, Kalimantan, serta Papua. Mereka pasti memiliki kultur kebudayaan yang berbeda-beda pula. Sebab pengaruh lingkungan dan letak geografisnya. Meski keberadaan mereka berbeda-beda, tapi masih memiliki kesamaan, yaitu bagian dari suku Dayak yang hidup di daerah pedalaman.

Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah. Adat istiadatnya dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak begitu ekstrim (Internet, 2008).

Suku ini memiliki kepercayaan terhadap kekuatan alam. Ia beranggapan bahwa gunung memiliki kekuatan jahat. Gunung merupakan pusat kekuatan alam yang jahat. Hal itu terlihat ketika ada satu bentuk keburukan, pasti gunung akan memangsanya. Gunung akan marah dan melenyapkan orang yang berbuat zalim tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan Ibu Denias.

“Gunung akan memakan orang yang nakal.”

Pernyataan itu adalah inti dari kata-kata yang diujarkan Ibu Denias kepada Denias. Ini merupakan sebuah nasehat dari seorang ibu kepada anaknya. Ibu Denias tidak ingin anaknya berbuat nakal dan zalim. Sebab dengan kezaliman yang dilakukan, akan membawa malapetaka tersendiri kepada anaknya. Ia tidak ingin gunung murka kepada anaknya.

Ada satu nasehat yang berorientasi pada pendidikan keluarga lagi. Nasehat itu berupa motivasi dan anjuran agar seorang anak menjadi pandai dan semangat dalam belajar serta menuntut ilmu. Ini juga masih merujuk pada image kepada gunung. Ibu Denias mengatakan bahwa gunung yang jahat akan takut dengan orang yang pandai. Gunung tidak akan berani memakan seseorang jika ia pandai.

“Jika rajin belajar, pintar sekolah, gunung akan takut kau.”

Pendidikan keluarga sangatlah penting. Ini adalah pendidikan utama sebab semua orang itu berangkat belajar dari lingkungan keluarga baru kemudian ke lembaga sekolah. Jadi sebaiknya semua orang tua selalu getol dalam mendidik anaknya. Menanamkan nilai-nilai baik kepada anak-anaknya.

Anggapan gunung adalah kekuatan jahat merupakan sebuah keyakinan yang timbul dalam kultur masyarakat suku Boneo di Papua. Keyakinan adalah keyakinan. Dan itu merupakan hak personal bagi tiap orang. Ini tidak boleh diubah selama orang tersebut tidak sendiri yang mengubahnya.

Denias dalam keluarganya juga diajarkan untuk bersikap berani. Ia harus berikap jantan dan lantang dalam menghadapi segala sesuatu yang ada. Namun keberanian itu harus diiringi dengan kebenaran. Jika dalam posisi benar, seseorang tidak boleh takut akan suatu hal.

“Kalau benar tidak perlu takut”.

Ada satu tradisi yang diterapkan dalam masyarakat suku Boneo tersebut. Ini sebagian dari adat istiadat mereka. Mereka menerapkan sebuah tradisi potong jari pada salah seorang yang anggota keluarganya ada yang meninggal dunia. Bagi realitas sosial pada umumnya, hal ini terlihat konyol. Tapi bagi mereka adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Mereka beranggapan bahwa memotong satu jari adalah sebuah simbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.

Jari adalah simbol kerukunan, kebersatuan, dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Satu sama lain saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satunya hilang, maka hilanglah sudah satu komponen kebersamaan itu. Hanya luka dan darah yang tersisa. Pedih-perih yang meliput suasana. Dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarganya itu baru sembuh jika luka di jari itu sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi.

“Denias, Bapak kehilangan punya jari Denias. Sakit rasanya ditinggal pergi.”

Selain upacara potong jari, ada lagi tradisi yang diterapkan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah mandi lumpur. Mandi lumpur ini dilakukan oleh kelompok atau anggota keluarga. Dalam film ini tidak ditayangkan bagaimana proses pemakaman. Entah dibakar atau dikubur? Kalu ditinjau dari segi upacara mandi lumpur, ini bisa jadi proses pemakamannya dikubur. Sebab mandi lumpur konotasi maknanya adalah bahwa orang yang meninggal dunia itu telah kembali ke alam. Ia berasal dari tanah dan kembali ke tanah pula. Hal ini senada dengan konsep Al-Quran yang artinya; “Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah liat” (QS. Al-Mu’minun:12). Itulah anggapan mereka.

Denias pada dasarnya hidup dalam kultur masyarakat yang terbelakang. Keterbelakangannya bukan disebabkan oleh cacat mental. Kebanyakan mereka tidak mengenyam pendidikan formal. Pada dasarnya mereka memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, namun kurangnya pengasahan intelektual, mereka minim pengetahuan. Selain itu juga dipengaruhi oleh letak geografis daerahnya. Mereka berada di hutan dan di pegunungan. Jadi informasi yang bersifat global sulit diterimanya. Lagipula mereka masih kokoh dengan tradisi lama yang mereka yakini. Yakni percaya dengan mistik, mengutamakan bekerja, dan mengabaikan pendidikan formal.

Tidak perlu kau sekolah. Tugas anak laki-laki adalah membantu bapaknya di rumah.”

Ungkapan itu diujarkan oleh Bapak Denias dengan nada emosional saat Denias bersekolah. Memang benar, dalam bekerjapun terdapat unsur pendidikan sebab dengan bekerja ada satu proses berfikir yang membawa pada kedewasaan seorang individu. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Daradjad (2002:51) bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan pendidik untuk membimbing seseorang yang dididik dalam mencapai tingkat kedewasaan.

Jauh dari pada itu, masih terdapat kriteria lain tentang pendidikan. Jika Denias hanya diporsir dengan bekerja, maka dia akan sama seperti masyarakat kampungnya yang lain. Pola berfikir dan pengetahuannya bersifat statis. Hanya berkisar pada berburu di hutan dan memetik hasil di hutan. Lagipula kerja yang dilakukan masyarakat tersebut hanya itu-itu saja.

Kriteria lain pendidikan menurut Alisyahbana (2002:37) adalah mematangkan perasaan, pikiran, kemauan, dan watak peserta didik. Ini yang harus diperhatikan lebih lanjut. Pendidikan bukan hanya mematangkan satu arah saja, tapi mencakup segala aspek kepribadian manusia. Termasuk juga etika dan kesopan-santunan.

Pada dasarnya masyarakat suku Boneo jika ditinjau dari sudut pandang global, mereka memiliki nilai kesopan-santunan yang masih rendah. Hal itu terlihat dari cara berpakaiannya. Mereka masih enggan memakai pakaian tertutup. Mereka kebanyakan bercawat atau hanya sebatas penutup kemaluannya saja. Jarang yang berkenan memakai pakaian-pakaian tertutup. Itupun hanya dalam keadaan-keadaan tertentu saja.

Berdasar pada fenomena-fenomena di atas, harus ada integritas dan kesempurnaan pribadi tertentu yang mesti dicapai dalam kultur masyarakat suku Boneo. Integritas dan kesempurnaan pribadi ini meliputi integritas jasmaniah, intelektual, emosional, dan spiritual ke dalam diri manusia secara sempurna (Daradjad, 2001:115). Integritas jasmaniah berorientasi pada cara berpakaian, intelektual berfokus pada pola pikir dan kecerdasan, emosional mengarah pada kepekaan hati dan perasaan, spiritual merujuk pada keyakinan dan keimanan mereka.

Dalam film ini terdapat cukup banyak nilai-nilai pendidikan. Entah itu nilai pendidikan yang diberikan melalui lingkungan keluarga, sekolah, maupun yang lainnya. Tampaknya fokus pengejawantahan pendidikan itu hanya tertuju pada seorang Denias saja. Itu sudah wajar, sebab Denias merupakan tokoh utama dalam film ini. Sebagaimana yang dinyatakan Aminuddin (2004:80) bahwa tokoh utama adalah tokoh yang sering muncul, tokoh yang sering dibicarakan oleh pengarangnya, tokoh yang sering diberi komentar.

Dalam pembahasan di atas telah diuraikan bentuk pendidikan yang didapatkan Denias dalam lingkungan keluarganya. Selanjutnya adalah mengarah pada bentuk pendidikan yang didapat Denias dari persahabatannya dengan seorang tentara RI yang bernama Pak Leo (Sebenarnya Maleo. Yaitu suatu nama untuk satu korps pasukan khusus TNI yang di tugaskan di kepulauan Irian Jaya. Pasukan itu terdiri dari cukup banyak orang. Namun yang di tugaskan di daerah Denias hanya satu orang itu saja. Pak Leo adalah pnggilan akrab yng dilakukan Denias). Dari nasehat-nasehat Pak Leo-lah Denias banyak menimba pengetahuannya yang baru.

Pak Leo banyak memberikan didikan tentang bagaimana menghadapi realitas hidup dan kehidupan ini. Saat Denias ditinggal wafat ibunya, dukanya begitu mendalam. Hal itu disebabkan oleh kecintaannya kepada ibunya, apa lagi dalam kematian itu, yang dapat dibilang paling bersalah adalah dia. Karena keteledorannyalah, ibu tercintanya meninggal dunia.

Saat itulah eksistensi Pak Leo sebagai sahabat dekatnya ditunjukkan. Ia memberi motivasi, semangat, dan dorongan hidup kepada Denias. Ia mencoba membangkitkan kembali gairah hidup Denias yang meredup. Ia berkata bahwa setiap manusia pasti tidak lepas dari kesalahan. Itu adalah kodrat kemanusiaan. Jadi tudak perlu lari dari kehidupan ini. Salah itu wajar. Tapi manusia harus hidup.

“Manusia tidak lepas dari kesalahan. Tapi harus hidup”.

Salah itu wajar, sebab manusia adalah tempat sala dan lupa. Tapi jangan salah secara terus menerus. Dalam kesalahan tersebut harus ada satu bentuk penginstropeksian diri agar tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Paling tidak meminimalisasi kesalahan dalam hidup. Dan seharusnya seorang manusia itu belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya.

Rasa bersalah yang begitu mendalam dalam diri Denias atas kematian ibunya merupakan sebuah masalah yang besar. Ini masalah psikologi Denias. Ia mengalami gencatan batin yang begitu dahsyat. Dan ini merupakan sebuah irama kehidupan yang harus dijalani. Kadang ada duka dan kadang ada tawa. Sebab kehidupan adalah rangkaian masalah yang harus dicari solisinya dan tidak perlu mengeluh tentangnya. Dan solusi yang tepat bagi Denias yaitu menumbuhkan gairah hidupnya.

Problem utama yang dihadapi Denias yaitu ingin ibunya hidup kembali agar bisa melihat dirinya sekolah. Menlihat hal tersebut, Pak Leo dengan sigap dan berwibawah menasehatinya, bahwa Ibu Denias akan selalu hidup selama Denias masih hidup.

“Mama kau akan selalu hidup selama kau masih hidup”.

Konotasi hidup di sini bukan berarti hidup secara fisik. Juga bukan bangkit lagi dari kuburnya dan bersosialisasi seperti sedia kala. Hidup di sini merujuk pada kehidupan dalam batin yang dipicu oleh segala bentuk kenangan jiwa. Jika Denias masi hidup, ia masih bisa membangkitkan kembali kenangan-kenangan yang sempat terukir bersama ibunya. Dengan demikian, ibunya akan selalu ada dalam hati dan pikiran Denias. itu sama halnya dengan hidup kembali.

Denias akhirnya memiliki semangat kembali dalam menjalani realitas kehidupan yang ada. Ia bisa kembali kesekolah dan bergumul dengan teman-temanya lagi. Namun semangat itu hanya sejenak ia kembali dirundung patah semangat. Kali ini ia ditinggal gur sekolahnya pulang kampung ke Jawa sebab istrinya sakit.

Ia merasa terpukul saat itu. Ia seolah tidak punya harapan lagi dalam menggapai impian dan cita-citanya, yaitu ingin bersekolah dan menjadi anak yang pandai. Denias tidak tahu harus kemana lagi dalam mewujudkan impian dan cita-cita tersebut. Ia putus asa. Ia kemudian lari ke Pak Leo (Panggilan Denias kepada seorang dari TNI. Nama aslinya tidak diketahu dengang jelas. Ia hanya tergabung dalam satu korps kelompok khusus yang bernama Maleo) untuk mencurahkan isi hatinya. Pak Leo bukan sekedar sahabat. Ia dapat dikatakan sebagai orang tua kedua dari Denias. Sebab setiap ada problematika, Denias selalu menyandarkannya kepada Pak Leo.

“Belajar itu bisa kapan saja dan di mana saja. Tidak harus menunggu ada guru”.

Pernyataan itu terujar oleh Pak Leo. Ini tampaknya berkonotasi pada sebuah maksud bahwa yang dapat memberi pbimbingan dan pembelajaran bukan hanya guru yang ada di sekolahan saja. Siapapun orangnya dapat dijadikan guru dan sarana dalam menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi.

Belajat dan menuntut ilmu itu tidak hanya di sekolah saja. Di manapun tempatnya dapat dijadikan lingkungan pendidikan. Jadi tidak harus ada bangunan sekolah. Asalkan di tempat itu memungkinkan untuk menimba ilmu, mengapa tidak di tempat itu saja. Tak perduli waktunya kapan. Setiap da kesempatan belajar, maka belajarlah. Tidak harus menunggu besok atau lusa. Maka belajarlah kepada siapapun orangnya, di manapun orang berada, dan kapanpun juga. Sebab belajar itu untuk masa depan.

Denias masih bingung. Ia dibingungkan dengan kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Baginya, orang-orang sekampungnya tidak ada yang cukup bisa mengajarinya tentang sesuatu yang baru. Mereka yang ada di sekelilingnya tidak sanggup mengantarkannya dalam menggapai impian dan cita-cita.

“Tapi tak ada yang mengajari saya.”

Mendengar ungkapan Denias tersebut, Pak Leo hatinya tergugah. Ia kemudian memutuskan diri untuk mengajar Denias dan teman-temannya. Denias kembali bersemangat. Ia merasa bahwa ia kini akan sanggup menggapai impian dan cita-citanya. Ia dan teman-temannya kini bisa belajar kembali.

Namun kegembiraan itu terjadi tak begitu lama. Pak Leo pun pergi meninggalkan kampung itu sebab dipindahtugaskan. Denias kembali terpukul. Ia melinangkan air matanya saat melihat Pak Leo tidak ada lagi di rumahnya yang sekaligus dijadikan tempat sekolah.

Pak Leo saat itu sempat meninggalkan sepucuk surat untuk Denias selaku sahabat terdekatnya dan untuk teman-teman Denias yang lain. Dalam surat itu ia menulis tentang kehidupan. Bahwasanya ada banyak sisi yang dapat dipelajari dalam kehidupan ini. Ada banya cela yang harus dimasuki. Dengan persahabatannya bersama Denias, sebenarnya Pak Leo cukup banyak menggenggam hikmah hidup dan kehidupan. Ia memandang bahwa seseorang hidup itu harus dengan satu tujuan, dengan kebahagiaan, tekad yang kuat, serta tidak berlari dari hidup dan kehidupan meski terdapat masalah yang berkepanjangan.

“Denias dan semua anak-anak yang Pak Leo kasihi. Pak Leo harus pergi, karena Pak Leo harus pindah tugas ke tempat lainnya. Pak Leo sudah banyak ajar kalian. Tapi Pak Leo juga banyak sekali belajar pada kalian. Pak Leo belajar bahwa kita hidup harus dengan satu tujuan. Kita harus hidup dengan tertawa, kita harus hidup dengan tekad. Dan yang terpenting, kita harus hidup, biarpun ada seribu masalah”.

Melihat pesan tersebut, saya teringat dengan pernyataan Milan Kundera. Ia merumuskan tiga konsep kebajikan dalam hidupnya. Salah satu dari ketiga konsep tersebut adalah humor. Humor dan tawa merupakan ungkapan yang seiring-sejalan. Konotasi utamanya adalah kebahagian dan kegembiraan pribadi seseorang. Siapa yang memiliki kebahagiaan, dia pada dasarnya telah memiliki kebajikan. Dan kebajikan yang terbesar adalah sanggup bahagia ketika seribu masalah datang menerpa. Tertawakanlah kesedihan, dan kau akan tertawa dengan baik (Moliere dalam Widada, 2004:123).

Saat kepergian Pak Leo itulah gejolak batin Denias tepat pada klimaksnya. Ia tidak tahu lagi kemana harus menyandarkan cita-cita dan impiannya. Ia terlecut untuk berusaha keras dalam menggapainya. Dan inilah yang merupakan sebuah kebenaran yang dulu sempat disampaikan guru Denias di sekolah. Ia mengatakan bahwa pribadi Denias sama persis dengan Jack dalam cerita Jack dan Kacang Polong. Suatu hari, Jack menanam kacang polong dan di hari esoknya tanaman tersebut tumbuh menembus awan. Jack kemudian menaikinya dengan perlahan-lahan hingga sampai di atasnya.

“Bapak pernah bercerita kepadamu. // Tentang Jack dan kacang polong? // Tentang Jack dan kacang polong. Kamu ingat, ketika Jack menanam benih kacang polong itu, keesokan harinya, benih itu tumbuh. Dan tumbuh menjadi pohon. Menjadi besar. Dan besar. Tinggi. Dan tinggi. Tinggi lagi. Sampai menyentuh awan. Dan Jack mulai naik pohon tersebut. Dia naik dengan bersusah payah. Dia naik dengan semangat penuh. Dia terus naik semakin tinggi. Dan semakin tinggi. Dan akhirnya Jack berada di atas awan. Dan Jack bisa melihat dunia. Semangat itu ada dalam dirimu Denias. Sesuatu yang tersembunyi dalam dirimu yang dihembuskan angin lewat nyanyian yang indah. Nyanyian yang berasal dari balik awan.”

Itulah gambaran perbandingan kepribadian seorang Denias. Ia menanamkan dalam dirinya biji harapan dan cita-cita untuk bersekolah. Dan ia pun meski menempuhnya dengan perlahan serta susah payah. Namun akhirnya ia sanggup merengkuh impian dan cita-cita itu, walau tampaknya terlihat mustahil. Hal itu disebabkan ada tekad dan semangat serta sesuatu yang tersembunyi dalam diri seorang Denias.

Hal itu kini terbukti. Denias pergi ke kota untuk bisa belajar dan bersekolah. Meski itu terasa tidak mungkin. Faktornya cukup banyak. Sekolah tempatnya cukup jauh. Denias harus menempuh dan melewati gunung dan lembah untuk sampai ke kota. Padahal transportasi tidak ada. Meskipun dia sanggup sampai ke kota, ia belum tentu dapat diterima di lembaga pendidikan itu, sebab ia tidak sanggup dalam pembiayaan. Lembaga sekolah itu hanya diperuntukkan bagi mereka anak-anak orang kaya dan berasal dari keluarga terpandang saja. Belum lagi ia yang tidak punya raport. Ini sungguh mustahil bukan untuk bisa digapai Denias!

Berkat tekad dan semangatnya, hal itu pun akhirnya terengkuh juga. Ada pepatah, di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan. Mungkin itu yang cocok bagi Denias. Ia berlari menyisir pegunungan, hutan, lembah dan sungai hingga ia pun tiba di kota. Dan di sana ia diperjuangkan secara gigih oleh seorang guru yang bernama Bu Sam untuk dapat masuk di sekolah tersebut. Namun masih dengan satu syarat, yaitu ia harus membuat catatan baik di sekolah itu. Meski teman-teman di sekitarnya kerap membuat ulah. Ia harus rela mengalah.

“Tapi ingat, kau tidak boleh nakal. Apalagi berkelahi. Dan jangan sampai terpengaruh dengan anak-anak yang tidak baik ya!”

Berkat tekad dan kemauanya yang keras serta teguh dalam menjalankan perintah, Denias akhirnya dapat diterima menjadi murid di sekolah tersebut. Meski itu harus dilalui dengan perlakuan-perlakuan yang kurang baik dari temannya. Meski duka dan derita bersarang dalam pribadinya. Dan inilah kiranya inti dari amanat dalam keseluruhan film ini, yaitu berorientasi motivasi kepada penikmat agar menumbuhkan tekad yang kuat, obsesi, kegigihan dalam menggapai sebuah cita-cita. Selain itu juga harus berpegang teguh pada prinsip dan menepati janji. Sebab di mana ada kemauan di situ pasti ada jalan dan pasti berpeluang dalam menggapai impian.

Tidak ada komentar:

Forum Sastra Lamongan

Imamuddin SA

Penulis bernama asli Imam Syaiful Aziz. Lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.