Imamuddin SA *
Wiji Thukul pernah menyatakan, “Puisi adalah kata-kata
gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. Pernyataan itu dapat
ditarik dalam dua sudut pandang; puisi sebagai produk dan puisi dalam ranah
proses kreatif.
Sebagai produk, setiap kata yang termaktub di setiap
baris puisi merupakan hal yang perlu dicari dan dipahami maknanya sebagai pesan
mutlak yang ingin disampaikan oleh penyair kepada pembaca. Dalam kata-kata
tersebut tersimpan satu misi yang dilesatkan oleh penyair sebagai anak panah
yang membidik satu papan target tertentu. Karena sifatnya yang gelap dan
berkeringat (sebut saja licin), pembaca kerap menerka-nerka dan sulit
menangkapnya dengan baik. Kadang hanya tersenggol atau bisa jadi luput dari
genggaman. Namun ada juga yang dapat menangkapnya dengan tangan-tangan
pemahamannya. Anggap saja kita sedang mencari ikan di sungai. Kita tidak tahu
akan dapat ikan atau tidak. Kalaupun dapat ikan, kita juga tidak tahu ikan apa
yang akan kita peroleh.
Dalam ranah proses kreatif, puisi tercipta dari kata-kata
yang tidak pernah terdeskripsikan sebelumnya dalam benak kita. Karena saking
gelap dan licinya kata-kata tersebut, kita sering ingin menuangkan kata “apel”
namun kita tak sanggup menuliskannya. Tangan dan pikiran kita mendadak mandek.
Justru kata “jeruk” yang malah nyelonong tertulis. Atau justru ketika kita
menuliskan satu ide tertentu, di tengah-tengahnya tiba-tiba muncullah ide-ide
baru yang lebih menggelitik. Inilah sisi gelap saat berproses kreatif yang
sulit diprediksi dan diterjemahkan oleh setiap penyair khususnya dan semua
penulis pada umumnya.
Yang jelas fenomena seperti itu kerap menghinggapi
psikologi kita saat melakukan proses kreatif. Setiap kata dan ide yang
nyelonong itu merupakan anugerah. Tugas kita hanyalah menerima dengan lapang
dada dan menuliskannya. Kita tidak patut untuk membuang atau menyia-nyiakanya.
Sekali lagi, kita tuliskan saja apa yang nyelonong keluar dari pikiran kita. Tapi
ingat ini baru tahap awal.
Saat berproses kreatif, tidak jarang kita terjebak dengan
penyematan diksi yang sesuai dan tidak sesuai. Hal ini mengakibatkan kita kerap
menggonta-ganti kata-kata yang telah tertulis sebelumnya. Kata “ini” kita
anggap kurang sesuai sehingga harus menggantinya. Kata “itu” kita rasa kurang
indah sehingga harus mengubahnya. Hal inilah yang pada gilirannya akan
menghambat proses kreatif yang tengah berlangsung. Bahkan kita tidak jarang
mandek di tengah jalan. Meminjam kata-kata AS Laksana, menulis dan meng-edit
itu kegiatan yang berbeda, jadi kita tidak harus melakukan editing saat proses
menulis berlangsung. Kita biarkan kata-kata yang nyelonong keluar itu memenuhi
larik-larik puisi kita. Setelah puisi itu telah kita anggap selesai, giliran
kita meluangkan waktu untuk sejenak membacanya. Di sinilah biasanya moment
editing akan tercipta secara alami dan tidak menghambat proses yang tengah
berlangsung.
Menyoal masalah keindahan kata-kata atau bahasa puisi,
Hasan Aspani pernah menegaskan bahwa “Puisi yang indah tidak harus menetes dari
penyulingan kata-kata, penyair tidak harus menjadi penyuling kata tapi juga
bisa menciptakan keindahan dengan menciduk segelas air lumpur, lalu memberinya
makna”. Ini menandaskan bahwa keindahan puisi tidak secara mutlak dicapai
dengan penyematan diksinya tetapi ada sisi lain yang dapat ditempuh yaitu
adanya makna yang dapat dipetik oleh pembaca dalam puisi tersebut. Istilahnya,
pesan yang tersampaikan kepada pembaca. Akan tetapi para penyair kerap memburu
kedua pencapaian tersebut, yaitu indah dari tata bahasa dan makna, meskipun tidak
semuanya berhasil. Yang patut dijadikan catatan, keindahan puisi itu terletak
pada selera dan keterlibatan pembacanya dalam suasana yang dihadirkan dalam
puisi tersebut.
Untuk mencapai dua aspek keindahan tersebut memang
tidaklah mudah. Ini butuh proses yang lumayan panjang. Tidak dapat bim sala
bim, abra kadabra. Agar keindahan bahasa dapat tercapai, kita perlu banyak
riset yaitu banyak membaca. Membaca apa saja, khususnya karya-karya penyair
lain. Dengan demikian kita akan semakin kaya dengan diksi dan pengungkapan ide
akan semakin halus. Agar keindahan makna tercapai, kita harus tahu dan paham
tentang hal yang akan kita ungkapkan. Agar kita tahu dan paham, maka kita harus
terlibat dalam hal tersebut. Terlibat berarti dekat. Untuk itulah, kita dapat mengungkapkan
hal-hal yang dekat dengan kita dalam puisi yang kita gurat. Entah dekat secara
fisik maupun dekat secara psikologis. Syukur-syukur dekat keduanya.
Terkait dengan produktifitas karya, hal yang utama adalah
ide. Ibaratnya orang yang merokok. Seseorang tidak akan dapat menikmati rokok
jika ia tidak memantik/menyalakan rokoknya. Orang lain tidak akan menghirup
asap rokok jika perokok tidak mengepulkan asap rokoknya. Ini juga berlaku untuk
produktifitas karya, apabila seorang penyair tidak mampu memantik dan
membangkitkan ide, bagaimana mugkin ia akan menghasilkan karya dan orang lain
mengapresiasinya?
Untuk membangkitkan ide, kita dapat menempuhnya dengan
dua jalur alternatif. Pertama; dengan self conditioning (pengkondisian diri).
Hal ini dapat dilakukan dengan cara membiasakan diri untuk menulis puisi secara
intens pada waktu dan tempat yang telah ditetapkan. Selain itu juga dapat
dilakukan dengan nimbrung bareng dalam komunitas tertentu, mengikuti event,
menulis untuk media masa, menulis untuk momen atau orang spesial dan
sebagainya. Kedua; natural idea (ide alami). Ide alami ini akan hadir secara
tiba-tiba dan tidak dapat diprediksi kapan datangnya. Biasanya ide ini kerap
muncul ketika penyair terlibat maupun mengalami suatu peristiwa yang begitu
berkesan dalam pribadinya. Jadi, sekali lagi, produktifitas karya akan
senantiasa terjaga jika self conditioning kita lakukan dan natural idea kita
dapatkan. Namun, kadangkala, penyair kerap mengendapkan idenya sebelum
menulisnya. Ada juga penyair yang mengendapkan tulisannya sebelum melakukan
proses editing. Hal itu dilakukan sebagai salah satu kiat untuk menambah
kedalaman karya.
Lamongan.
*) Penulis bernama asli Imam Syaiful Aziz. Lahir di
Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan
Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang
Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour,
Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi
di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal
Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir
Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016,
Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada.
Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam,
Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan
Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra
Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018,
dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon
085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar