Judul Buku : Buwun
Pengarang : Mardi Luhung
Jenis Buku : Kumpulan Puisi
Epilog : Beni Setia
Penerbit : PUstaka puJAngga, Februari 2010
Tebal Buku : 66 hlm. 12 x 19 cm
Peresensi : Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/
Karya-karya besar kerap lahir dari tangan-tangan pengarang yang peka dengan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Tengok saja Gibran, Tagore, Octavio Paz, Albert Camus, setiap kali mereka melakukan suatu perjalanan, dapat dipastikan ada sesuatu yang mengendap dalam pikirannya. Membuncah-ruah menjadi ide bercahaya. Dan bergerak menghasilkan karya.
Peristiwa itu terjadi entah disengaja atau secara alamiah. Yang jelas, sebuah karya kreatif lahir dari fenomena yang telah tersapa. Hal itu ternyata tidak hanya terjadi dalam diri tokoh-tokoh besar kesusastraan dunia, melainkan juga merambah pada pribadi seorang Mardi Luhung. Melalui perjalanannya ke pulau Bawean, lahirlah sebuah karya ekspresif-inspiratif dari tangannya. Karya tersebut diberijudul “Buwun”.
Buwun merupakan sebuah nama klasik dari pulau Bawean, Kecamatan Gresik. Pulau ini juga dapat dikatakan sebagai pulau Hawa. Sebab kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita. Para pria pulau tersebut banyak yang melancong di luar pulau untuk bekerja.
Hadirnya kumpulan puisi yang berjudul Buwun ini merupakan sebuah isyarah bahwa Merdi mencoba menyuarakan kearifan lokal daerahnya. Yaitu Gresik. Selain itu, Mardi lahan-perlahan seolah meranggeh, memosisikan dirinya pada tangga kemasyhuran. Dalam Buwun diungkapkan cukup banyak realitas yang berkembang di pulau Bawean. Baik dari sisi kultur budaya, sosial kemasyarakatan, dan keadaan daerah. Istilah lokalitas bahasa sangat kentara melingkupi tiap guratan puisinya. Kisahan pulau Bawean yang diungkapkan Mardi penuh imajinasi yang tinggi. Fenomena yang diceritakan tidak sekedar realitas naratif fisual Bawean, namun ada kekuatan terselubung yang menjadikannya multi tafsir. Di samping itu, estetika sajak terbangun dengan eloknya melalui repetisi, asonansi, dan aliterasi bahasa. Inilah amunisi yang diusung Mardi dan mampu menjadi kekuatan dahsyat dalam perang sastra masa kini.
Sajian buku Buwun ini terasa sedikit kurang sedap dinikmati jika itu ditelisik melalui penulisan istilah bahasa lokalnya. Dalam buku ini, istilah-istilah bahasa lokal itu disajikan mengalir begitu saja tanpa adanya penjelasan dalam bentuk bahasa nasional. Entah itu sebagai suatu kesengajaan yang dilakukan pengarang dengan maksug mencapai bias makna atau tidak, yang jelas dalam proses apresiasi terasa mengganggu pemahaman pembaca. Pembaca disibukkan dengan penelisikan artian leksikalnya saja. Sedangkan secara leksikal, artian tersebut belum tercantum makna dan maksudnya. Karya ini terasa seolah-olah hanya diperuntukkan bagi masyarakat lokal Kabupaten Gresik, khususnya Bawean saja. Sebab yang tahu istilah lokalitas bahasa yang dinukilkan hanya mereka yang bernaung dalam satu daerah tersebut. Jika karya ini bermaksud menasionalkan atau menduniakan Bawean, alangkah renyahnya jika diikutsertakan artian istilah-istilah lokalnya. Dan akhirnya, “Meski tak pernah sampai, mereka tetap ingin jadi penyaksi!”. Selamat mengapresiasi dibalik makna tersembunyi.
http://sastra-indonesia.com/2010/03/bawean-senandung-di-atas-awan/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A. Mustofa Bisri
A. Syauqi Sumbawi
Aguk Irawan MN
Alang Khoiruddin
Antologi Sastra Lamongan
Arti Bumi Intaran
Avontur
Balada
Bambang Kempling
Berita
Catatan
Cerpen
Eka Budianta
Esai
Fatah Anshori
Forum Sastra Lamongan
Friedrich Wilhelm Nietzsche
Hallaj
Herry Lamongan
Ignas Kleden
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Jacques Derrida
Jo Batara Surya
Kasnadi
Komunitas Deo Gratias
Kostela
Kuntowijoyo
M Thobroni
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Masuki M. Astro
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Muhammad Muhibbuddin
Naskah Teater
Nurel Javissyarqi
Octavio Paz Lozano (1914-1998)
PDS H.B. Jassin
Pringadi AS
Pringgo HR
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
PUstaka puJAngga
Radhar Panca Dahana
Resensi
S. Yoga
Sajak
Sajak-sajak Ragil
Sihar Ramses Simatupang
Soediro Satoto
Sumarlam
Sungatno
Supaat I. Lathief
Suryanto Sastroatmodjo
Sutardji Calzoum Bachri
Sutedjo
Sutejo
Syaiful Anam Assyaibani
Taufiq Wr. Hidayat
Tengsoe Tjahjono
TIM GURU 2014/2015
W.S. Rendra
Forum Sastra Lamongan
Imamuddin SA
Penulis bernama asli Imam Syaiful Aziz. Lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar