Kamis, 11 Maret 2010

HANTU JIWA IMAN BUDHI SANTOSA

Imamuddin SA *
http://sastra-indonesia.com/

Iman Budhi Santosa lahir di Magetan, 28 Maret 1948. pendidikan formalnya: S. Pb. M. A. 4 th Yogyakarta (1968) dan Akademi Farming (1983). Ia pernah bekerja pada perkebunan teh di Kendal (1971-1975) dam Disbun Prop. Dati I Jateng (1975-1987). Pada tahun 1969 bersama Umbu Landu Paringgi Cs mendirikan Persada Studi Klub (PSK) komunitas penyair muda di Malioboro. Ia menulis sastra dalam dwi bahasa, yaitu Indonesia dan Jawa. Karya-karyanya kerap mengisi antologi-antologi puisi maupun cerpen di antaranya: antologi puisi Tugi (1986), Tonggak 3 (1987), Zamrud Katulistiwa (1997), Embun Tajalli (2000) dan lain-lain. Cerpenya dalam antologi Lukisan Matahari (1993), Liong Tembang Prapatan (2000), dan lain-lain. Sejak tahun 2004 ia menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogyakarta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa.

Setiap ujaran bahasa merupakan tanda dari objek yang ditandainya. Tanda-tanda tersebut pada dasarnya memiliki makna, baik hanya sebatas ikon maupun indeks, bahkan bisa jadi itu merupakan simbol. Makna yang dihasilkan ikon biasanya hanya bersifat tersurat, sedangkan makna yang ditimbulkan indeks dan simbol itu bersifat tersirat. Indeks dan simbol maknanya bersifat konotatif.

Puisi Iman Budhi Santosa yang berjudul Potretmu, Potretku, Potret Kita Nanti. mengandung makna yang begitu dalam akan realitas kehidupan yang dijalani oleh setiap manusia. Penyair seolah memberikan gambaran dan alarem kepada setiap manusia akan perjalanan hidupnya. Ia memperingatkan bahwa yang mesti ditakuti oleh setiap orang dalam hidupnya bukanlah kematian, melainkan masa tua. Ituah hantu jiwa yang eksistensinya perlu diwaspadai oleh setiap orang.

Sungguh bukan maut yang menakutkan // tapi tua terpuruk sendirian (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Kata terpuruk dalam baris kedua puisi di atas menggabarkan bagaimana suatu kondisi seseorang yang berada dalam kesusahpayahan. Kata itu memiliki konotasi makna yang lebih kuat dan mendalam akan gambaran pribadi seseorang yang begitu menyedihkan dan begitu payah. Kata terpuruk tersebut dapat merujuk pada derajat dan martabat. Seseorang hargadirinya digambarkan telah hilang. Ia berada dalam kehinaan.

Masa itu sebagaimana gambaran penyair, terjadi saat diri telah renta dan sudah tidak ada lagi orang yang berkenan menemani. Sanak, saudara, teman, bahkan keluarga sudah tidak ada di sisi lagi. Hal itu belum cukup, yang lebih tragis lagi adalah saat tubuh dalam keadaan sakit. Tubuh sudah tidak berdaya dan telah diserang benih-benih penyakit. Saat-saat itulah yang sungguh memrihatinkan bagi setiap orang. Itulah potret manusia ke depan yang harus diwaspadai keberadaannya

Dimakan batuk dan kembali ingusan // dijaga tongkat, sapu pengusir lalat // menunggu suapan sanak kerabat (Dunia Semata Wayang, bait 1, hal 34)

Ini adalah gambaran realitas yang terjadi di masa tua. Penyair begitu jeli dalam mengungkapkannya. Penyakit yang kerap menghinggapi usia-usia lanjut adalah penyakit batuk dan flu. Lebih dari itu, kata kembali ingusan bahkan tidak sekedar menyaran pada penyakit flu. Kata itu dapat menjadi simbol bagi keadaan saat masa kanak-kanak, di mana mereka kerap ingusan meski tidak terkena flu. Kata tersebut memiliki makna konotasi bahwa seseorang yang telah lanjut usia itu pola pikir dan perilakunya seolah-olah kembali pada masa kanak-kanaknya. Ia menjadi bersikap lebih manja dan ingin perhatian yang lebih dari kerabat dan keluarganya. Tapi bagaimana jika realitas berbicara lain, ketika lanjut usia seseorang tidak ada yang memberi perhatian dan kasih sayang yang lebih kepadanya? Ia tidak ada lagi yang memenuhi kebutuhannya, baik makan, minum, maupun yang lain. Sungguh, betapa terpuruknya ia.

Keadaan itu belum melihat dari sisi fisiknya. Di usia tua, tenaga dan kekuatan seseorang telah menurun derastis. Jangankan untuk mengangkat beban, berdiri tegak saja sudah tidak mampu. Ia harus ditopang dengan tongkat penyangga. Kondisi semacam inilah, bagi masyarakat jawa kerap memberi julukan kepada mereka sebagai sapu gerang (sapu pengusir lalat). Sapu yang sudah tidak dapat difungsikan lagi untuk membersihkan tumpukan sampah. Itulah simbol dalam kehidupan masyarakat bagi mereka yang tengah measuk pada kriteria lanjut usia. Ia sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi tenaganya. Yang dapat dilakukanya hanyalah sebatas mengusur lalat saja.

Biasanya, ketika sanak-saudara dan keluarga sudah tidak ada di sisi dan tidak mendampingi mereka yang tengah lanjut usia, harapan satu-satunya hanyalah kerabat dan teman sejawat. Tidak adanya keluarga dan famili yang menemani mereka, kemungkinan disebabkan faktor-faktor tertentu, seperti meninggal dunia dan berada di tempat jauh. Itu biasanya yang kerap terjadi.

Puisi ini juga mengandung isyarah pengingat untuk mereka yang berada di kejauhan yang sekian lama tengah meninggalkan keluarganya. Apalagi keluarga yang telah lanjut usia, misalkan; orang tua, kakek, nenek, dan lain-lain. Alangkah mulianya mereka yang berkenan mengikat kembali tali silaturrahmi keluarga. Membawa mereka yang tengah lanjut usia keluar dari kesendirian dan keterpurukan usia.

Selai itu, puisi tersebut memberi isyarat bagi para lanjut usia, jika terjadi demikian, janganlah berharap sesuatu yang lebih akan kehadiran teman sejawat. Bisa jadi mereka telah wafat terlebih dahulu. Biasanya saat-saat semacam itu, mereka kerap mengenang masa lalu yang indah yang tengah dilewati bersama, entah dengan sanak,-saudara, kerabat, keluarga, maupun teman-teman sejawat. Kini kenagan hanya tinggal kenangan yang tidak mungking diulang kembali di masa depan. Oleh sebab itu, untuk menghadapi kondisi semacam itu, seseorang tidak perlu memberikan harapan kebahagiaan yang berlebihan. Apalagi sampai membongkar kembali kenangan indah masa lalunya. Yang mereka butuhkan hanya satu, yaitu pendekatan diri kepada tuhan. Ajaklah mereka untuk banyak mengingat Tuhan, sebab tujuan mereka yang lanjut usia hanya satu, yaitu menjemput kematian yang ada di depan mata dan hanya tinggal sejengkal saja.

Jangan bertanya teman sejawat kemana // sebab lama telah mendahului
Jangan menyapa dengan salam bahagia // karena cita-citanya satu semata. Mati! (Dunia Semata Wayang, bait 2 dan 3, hal 34).

Kata mendahului maknanya berkonotasi pada kata mati. Orientasinya adalah keadaan jiwa yang telah kembali pada pemiliknya, yaitu Tuhan. Teman sejawat di sini digambarkan telah terlebih dahulu kembali pada alam keabadian. Ia telah masuk pada alam kehidupan setelah kematian untuk mempertanggungjawabkan diri di hadapan Tuhan atas segala perbuatan yang telah dilakukan. Jadi, keberadaan teman sejawat tidak perlu diharapkan lagi. Kondisinya pun pasti sama sebab keterkaitan usia, bahkan bisa jadi ia telah wafat terlebih dahulu.

Fenomena yang tidak dapat dipungkiri dalam realitas kehidupan manusia adalah adanya harapan dalam pribadinya. Ini dimulai dari masa kanak-kanak bahkan jika seorang bayi telah diketahui kehendaknya, ia pasti memiliki kehendak yang sama, yaitu ingin lekas besar dan bercinta. Kehendak inilah yang menyugesti seorang anak untuk selalu mengejarnya. Pada dasarnya mereka selalu dibayang-bayangi dengan fantasi yang indah dan membahagiakan saat beranjak besar, dewasa, dan bertaut dengan cinta. Mereka akan terobsesi dengan kegagahan, ketampanan dan kecantikan atas diri sendiri, sehingga mereka dengan mudah menggaet hati lawan jenisnya untuk masuk dalam dunia percintaan. Dunia yang secara imajinatif digambarkan sebagai dunia yang selalu diselimuti dengan keindahan dan kebahagiaan oleh para remaja.

Besar dan bercinta, dulu // anak suka mengejar dan mengecapnya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Itulah fenomena yang terjadi dalam perkembangan fase seorang anak hingga usia remaja. Apa yang terjadi saat fase tersebut telah terlewati dan mereka telah masuk pada dunia setenga baya? Orientasi kehidupan mereka telah burubah lagi. Dulu yang selalu mendambakan dan mengejar-ngejar cinta kini telah beralih pada pekerjaan. Mereka berfokus pada dunia kerja dan bagaimana cara mempertahankan hidupnya serta keluarganya. Fokusnya adalah mencari nafkah bagi keluarganya, mencukupi kehidupan sehar-hari, dan membesarkan keturunannya.

Berbeda lagi saat menjelang usia lanjut melingkupi kehidupanya. Mereka dengan sendirinya akan terbersit benih-benih ketakutan dalam hatinya. Mereka takut akan kecantikan dan ketampanannya memudar. Kulit menjadi keriput. Tulang-tulang renta tak berdaya. Ingatan mulai melemah. Potret semacam inilah yang mesti diwaspadai dalam kehidupan mendatang bagi setiap orang. Apalagi kerabat dan keluarga tiada lagi menjadi pendamping yang setia.

Begitu senja merebut, takut // cantik tampan tercerabut // badan jiwa lelah menuntut bicara (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34).

Ungkapan yang menyimbolkan usia tua atau lanjut terdapat pada kata senja. Kata ini menunjukan keberadaan hari yang hedak berganti; siang menjadi malam. Ini berkonotasi pada pergantian hidup di dunia menuju kehidupan akhirat sudah semakin dekat. Kehidupan seseorang telah dekat dengan kematian dan akan menuju kehidupannya yang baru. Keadaan semacam itu hanya tinggal menunggu waktu saja. Kematian akan segera tiba, namun masih menjadi misteri kedatangannya. Ingin rasanya untuk mengakhiri hidup, tapi tidak menemukan jalan kematian yang wajar dan diridhai Tuhan

ingin pamit justru lupa alasannya (Dunia Semata Wayang, bait 4, hal 34)

___________________
*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

http://sastra-indonesia.com/2010/03/hantu-jiwa-iman-budhi-santosa/

Tidak ada komentar:

Forum Sastra Lamongan

Imamuddin SA

Penulis bernama asli Imam Syaiful Aziz. Lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.