Kamis, 25 Februari 2021

Merapi dan Kearifan Pemimpin Lokal

Aguk Irawan MN *
thewindowofyogyakarta.com
 
Menjadi pemimpin (manusia) sangat tergantung pada perilaku yang melekat pada dirinya. Sementara perilaku sering dibangun dalam proses pergumulan panjang dalam menjalankan tugasnya sebagai sebuah cinta yang dilandasi prinsif kesetiaan. Tugas itu seberapapun pahit dan manis akan terus dihayati, digeluti, dan diarifi dengan pengabdian diri secara total. Cinta dan kesetiaan adalah dua unsur nilai yang dianggap paling luhur dalam ilmu filsafat etika, sehingga dengan dua sifat itulah manusia menjadi tegar, hati teguh dan berkemauan kuat serta mempunyai semangat pengabdian yang tak kenal batas.
 
Mbah Maridjan (almarhum) mungkin salah satu contoh dari sedikit manusia (pemimpin dalam skala kecil) yang barangkali bisa kita jadikan renungan pada saat ini. Sebuah renungan ketika manusia modern (khususnya elit kita) yang hampir-hampir lepas dari nilai cinta dan kesetiaan dalam menjalankan tugasnya, sehingga kerinduan kita pada pemimpin dengan mempersembahkan pengabdian yang mendalam kian jauh. Dan yang ada di pelupuk mata kita, justru pandangan sebaliknya: semuanya bersifat kontraktual dan transaksional. Tak mengherankan yang mengemuka di hadapan kita hanyalah pamrih dan politik pencitraan belaka.
 
Dengan kekuatan spiritualnya, Mbah Maridjan menunjukkan kepada kita: besar kecilnya manusia tidak ditentukan oleh atribut duniawi sepereti gaji, jabatan, dan popolarotas. Melainkan pengabdian dan pemehaman akan tugas sebagai sebuah panggilan hidup yang tulus. Sebagai seorang abdi Dalem Keraton Yogyakarta dengan jabatab juru kunci, ia telah menunjukkan nilai-nilai kesetiaan tinggi. Meskipun Gunung Merapi memutahkan lava pijar dan awan panas wedhus gembel yang membahayakan manusia, ia bersikukuh tidak mau mengungsi, ia bak kapten Titanic yang sgera tenggelam, meski ia tahu paling dulu kapal sudah membentur karang gunung es dan segera tenggelam, ia pantang turun hingga detik penghabisan. Sikapnya yang terkesan mbalelo itu, semata-mata sebagai wujud tanggung jawab terhadap tugas yang diamanatkan N g a r sa D a l e m S u l t a Hamengkubuwono X dan tanggung jawabnya di hadapan Tuhan atas amanah itu.
 
Dengan penghayatan nilai-nilai hidup seperti itilah, Mbah Maridjan menjalani kehidupannya dari waktu ke waktu. Selama puluhan tahun mengabdi, dan selama itu punya berbagai letusan gunung terjadi, masyarakat selamat dan Mbah Maridjan juga selamat. Sebagai pengabdian yang tulus, ia bertekad mengabdikan diri seumur hidup untuk menjaga Merapi. Dalam hidupnya pun ia tidak memiliki keinginan neko-neko (aneh-aneh) selain menjadi abdi Dalem Sri Sultan. Sikap ini menjadi sungguh patut diteladani oleh siapa pun. Terutama penghayatannya sebagai manusia yang hidup selalu menerima apa adanya serta selalu iklas dengan hidup yang dijalani.
 
Di masa-masa awal menjadi abdi Dalem Juru Kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan mendapat gaji hanya sebesar Rp 3.710, perbulan. Sejak pangkatnya naik menjadi penemu, gajinya meningkat menjadi Rp 5.600,00 per bulan. Mbah Maridjan yang gemar guyonandengan bahasa “plesetan” khas Yogyakarta, menyebut gajinya dengan “lima juta enam ratus ribu rupiah”. Gaji yang sebanarnya tidak cukup untuk membeli sebungkus rokok Kansas kegemarannya. Itu sebabnya, Mbah Maridjan terpaksa harus mengambil gaji setiap tiga bulan sekali, supaya uang gajinya tidak habius untuk ongkos naik bus dari keraton ke Dukuh Kinahrejo. Mbah Matidjan tidak pernah mengeluh. Ia justru menunjukkan nilai-nilai kearifan yang luar biasa dalam memaknai pendapatan yang tidak berarti tersebut.
 
“Kalau orang hanya melihat mereka yang berpendapatan besar, pasti ia akan selalu diliputi perasaan serba tidak puas. Sebaliknya, kalau orang mau melihat mereka yang kecil-kecil, berapa pun besarnya gaji akan membuat kehidupan terasa nikmat. Saya lihat banyak kok orang yang berpenghasilan kecil. Jadi jangan melihat ke atas, lihatlah ke bawah, “tuturnya suatu ketika.
 
Tetapi sang aktor itu harus mati dalam episode letusan penghabisan. Ini memberikan nilai dramatis, sekaligus sebagai tamsil yang telah dipentaskan di atas panggung Merapi yang dijaganya sendiri. Di atas puncak gunung itu ia menjemput maut dengan cara yang sunggu indah: sebuah kematian yang banyak dirindukan oleh kaum asketisme, yaitu dengan cara bersujud kepada Allah. Sesaat sebelum maut menjemput itu, para saksi sekaligus relawan yang selamat telah membujuk Mbah Maridjan untuk turun gunung, namun berulang-ulang ia mengatakan, biarlah ia menjadi orang terakhir yang akan turun, sambil berujar: “ragaku tak bisa berpisah dari sukmaku, tak bisa, cukup Allah saja sebagai penolongku.”
 
Sungguh sebuah kata yang hampir menyamai legenda para sufi dunia. Dan dalam drama kematian yang sangat mengesankan ini seharusnya memberikan pelajaran bagi pemimpin kita bagaimana moral dan asketisme hidup mesti dipertahankan di tengah gejolak korupsi yang harus mencengkeram bumi pertiwi ini. Kerakusan dan lari dari tanggung jawab merupakan wajah sehari-hari dari kepemimpinan saat ini. Alam tidak dijaga dan dipelihara, tetapi dimakan habis untuk memenuhi semangat konsumen yang tidak ada batasnya.
 
Asketisme
 
Drama kematian Mbah Maridjan mengingatkan kita pada suatu kejadian ribuan tahun yang lalu. Ketika Nabi Ibrahim as dilemparkan ke dalam manjaniq (lahar api). Para malaikatber-istighatsah, memohon pertolongan Allah seraya berkata, “O Tuhan kami, Khalil-Mu ini telah ditimpa sesuatu yang tentu saja lebih Engkau ketahui.” Al-Haqq swt menjawab, “Pergilah kepadanya, hai Jibril. Jika ia meminta tolong kepadamu, tolonglah dia, namun jika tidak, maka biarkan Aku bersama Khalil-Ku.” Jibril as bergegas mendatanginya di ufuk udara, lalu berkata, “Apakah Anda punya hajat?” Ibrahim as menjawab, “Jika denganmu, aku tak punya, tapi dengan Allah iya.” “Kalau begitu, mintalah kepada-Nya. Tak perlu aku memohon, sebab Dia mengetahui keadaanku.” Dalam situasi segawat itu, Nabi Ibrahim as tak meminta pertolongan kepada selain Allah swt, dan cintanya pun tidak condong kepada selain-Nya, ia pasrah sepenuhnya pada ketentuan Allah swt sembari mengucapkan : “hasbiyallah wa ni’ma al-Wakil” (cukup bagi-Ku Allah dan Dia adalah sebaik-baik Dzat yang mengurus).karena itu, Allah swt pun memujinya dengan firman: “Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (Qs An-Najm [53]:37]. [At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir, 101].
 
Perihal kematian itu, Mbah Maridjan seperti mendapatkan isyarah, sebagaimana diriwayatkan dari “Ammar, bahwasanya saat berangkat menuju medan Shiffin di sisi sungai Eufrat, Kanjeng Nabi pernah berkata: Ya Allah, andai aku tahu bahwa untuk memperoleh ridha-Mu aku harus menjatuhkan diriku dari puncak gunung ini, lalu aku terseret jatuh dan mati, niscaya akan kulakukan, dan andai aku tahu bahwa untuk memperoleh ridha-Mu aku harus menceburkan diriku di dalam air lalu menenggelamkan diriku, niscaya akan kulakukan. [Maukib asy Syuhada, 1/261]. Karenanya, dengan asketisme itulah ia belum pernah menuntut naik gaji, meski upah yang diterima sangat minim untuk ukuran kita. Dengan saketisme itu pula ia tidak perlu merusak dan menebangi pohon, merusak sungai untuk kepentingan duniawi. Sebaiknya, ia malah merawat dan melindungi.
 
Itulah pelajaran yang diberikan oleh Mbah Maridjan dalam drama yang dipentaskan di atas Gunung Merapi. Wallahu’alam bissowab.
***
 
*) Aguk Irawan MN, penulis buku Sang Pemberani: Gareng Berkerajaan Merapi (Penerbit Koekoesan Jakarta, 2008), alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
 
***
Tentu belum hilang dari ingatankita, cerita tentang makluk gaib bersurjan lurik dan mengenakan blangkon (busana adat Jawa) yang menampakkan diri di depan Yati, istri Ponimin pada detik-detik menjelang turunnya wedhus gembel pada 26 Oktober 2010 sore seperti dilansir sejumlah media. Sosok gaib itu-kata Yati – melontarkan ancaman akan mengobrak-abrik Keraton Ngayogyakarta. Lalu, meluncurlah awan panas dan meluluhlantakkan kawasan wisata dan hunian warga dilereng Gunung Merapi hingga mencapai kawasan Provinsi DIY, khususnya Kabupaten Sleman serta Klaten, Boyolali, dan Magelang di Provinsi Jawa Tengah.praktis, sebagian wilayah Provinsi DIY sebelah utara serta bagian selatan Provinsi Jateng diterjang awan panas yang berlangsung secara berkala hingga 4 November 2010 dan berikutnya berupa banjir lahar dingin Merapi.
@copyright ©2009 Taman Budaya Yogyakarta.
http://sastra-indonesia.com/2012/04/merapi-dan-kearifan-pemimpin-lokal/

Tidak ada komentar:

Forum Sastra Lamongan

Imamuddin SA

Penulis bernama asli Imam Syaiful Aziz. Lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.