Rabu, 17 Februari 2021

JALAN TENGAH

Imamuddin SA *
 
Seperti bersepeda angin, hidup ini bergerak. Pelan tapi pasti. Kalau ada yang bilang, semuanya tergantung pada pengayuhnya, itu juga tidak patut disalahkan. Yang kurang dibenarkan adalah yang menolak Yang Maha Hidup. Termasuk takdir-Nya.
 
Panggil saja Pak Syam. Lebih tepatnya Syamsuri. Ia masih berkeyakinan kuat sekokoh batu kali. Ia tetap tidak mau menggoyah pendiriannya kalau Tuhan tidak akan mengubah nasibnya jika ia sendiri tidak mau mengubahnya. Ia masih yakin kalau apa yang ditanamnya dalam hati itu bukanlah semata-mata menolak takdir Tuhan, melainkan memperbaiki qadla'-Nya saja. Dan ini dilakukan sebelum palu takdir diketok. Ibarat sebuah cerpen yang disunting sebelum dipublikasikan. Namun semua itu hanyalah sebatas keyakinan baginya. Realitasnya ia masih berjalan pada satu tempat yang sama.
 
Memang, ini hari adalah hal tersulit bagi Pak Syam. Sejak wabah menyerang, ia tak dapat bergerak bebas seperti biasanya. Setiap geraknya terbatasi. Ia tak dapat menjajakan dagangannya dari desa ke desa lain. Nyaris satu bulan ini kehadirannya dimentalkan oleh warga desa yang bertugas sebagai relawan wabah. Dan dengan amat sangat terpaksa, ia harus rela mendorong lalu menyimpan kembali dagangannya di rumah.
 
Untungnya dagangan yang dijual Pak Syam bukanlah sebuah makanan. Jadi dagangan itu tak mungkin basi. Sudah lebih dari seperempat abad ini, Pak Syam setia menjajakan perkakas pertanian dan rumah tangga dari satu desa ke desa lain untuk menghidupi keluarganya. Ada aneka pisau, gergaji, palu, pahat, bor, sabit, bendo, caluk, golok, linggis, kubut, cangkul, gancu, kunci sepeda, dan genting kaca yang tertata rapi di atas gerobak miliknya. Sebuah gerobak kusam yang wajahnya sekusam usia pemiliknya. 60 tahun.
 
Gerobak itu merupakan gerobak bersejarah yang telah diwariskan orang tua Pak Syam kepadanya. Ini pekerjaan turun-temurun. Entah sudah berapa puluh tahun pekerjaan ini dilakukan dalam keluarga Pak Syam. Yang jelas sudah melampaui usia Pak Syam. Sebenarnya ia ingin sekali beranjak dari tradisi orang tuanya -mendorong gerobak dan menjajakan perkakas pertanian dan rumah tangga dari satu desa ke desa lain-. Tapi niatan itu selalu urung. Ia masih berkutat pada persoalan yang sama. Pesan mendiang orang tuanya sebelum tutup usia. "Syam, Bapak tak memberimu apa-apa. Hanya gerobak ini yang Bapak punya. Rawat dan pertahankanlah." Selain itu, ia juga selalu dihimpit dengan permodalan. Kayakinannya untuk mengubah nasib terus dibegal dengan dua hal itu. Ini yang membikin berat hati Pak Syam untuk melangkah.
 
Sekarang pekerjaan itu seolah dipaksa berhenti dengan sendirinya. Sepertinya Tuhan ingin menunjukkan bahwa apa yang selama ini diyakini Pak Syam benar-benar harus dan akan direalisasikan. Semua relawan wabah telah menolak dengan tegas setiap penjaja keliling yang hendak masuk desa. Ada setumpuk sampah di kepala Pak Syam yang segera ingin dibersihkannya. Beras yang terkuras, lauk yang lapuk, dan tagihan rentenir yang nyinyir. Sementara penghasilan tak lagi dapat diharapkan. Pekerjaannya koma. "Ini satu-satunya pekerjaanku. Kalau harus beralih, mau usaha apa aku sekarang? Lagian usiaku juga sudah tidak mudah lagi." gumam Pak Syam.
 
"Pak Syam, minta tolong pasang dan disetel gir baru sepeda saya ini!" sergah Bayu mendadak nyelonong menghampiri Pak Syam yang sedang duduk di emper depan rumahnya. Sebuah rumah seluas 6x7 meter. Rumah itu ditopang dengan tiang yang terbuat dari batang pohon bambu. Dindingnya pun dari anyaman bambu. Ada banyak cela di dinding itu. Biasannya dari cela-cela itu, Pak Syam menikmati panorama gerhana matahari bersama keluarganya. 
 
Ngomong-ngomong soal gerhana matahari, para warga di desa kerap melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan Pak Syam -melihat gerhana matahari dari celah dinding rumah-. Namun ada juga yang melihatnya dengan membuat cermin air dalam ember. Ini berlangsung sejak puluhan tahun silam ketika ada seorang bocah yang mendadak mengalami kebutaan mata saat memaksakan diri melihat gerhana matahari dengan mata telanjang sesaat sebelum orang tuanya berangkat ke masjid menunaikan salat sunah gerhana. Jaringan syaraf mata bocah itu mengalami kerusakan. Retina, kornea, pupil, dan lensa matanya tidak dapat berfungsi dengan baik. Karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, tindakan operasi tidak pernah dilakukan. Pasalnya biaya yang harus dikeluarkan cukup mahal. Dan dengan sangat berat hati, orang tua bocah itu harus merelakan anaknya buta seumur hidup.
 
Di emper depan rumah itulah belakangan ini Pak Syam  kerap menghabiskan hari-harinya. Dihitungnya sisa uang simpanannya yang semakin menipis dan berharap wabah segera berakhir. Ya, sebuah uang yang beberapa waktu lalu didapat bukan dari usahanya melainkan dari dana bantuan pemerintah desa. Nominalnya sebesar 600 ribu. Jika dibagi, setidaknya uang itu dapat membikin kenyang kebutuhan Pak Syam sekeluarga selama 24 hari. Itu sudah benar-benar ngirit. Dalam sehari paling tidak 25 ribu rupiah harus dirogohnya dari saku celananya yang keriput. 15 ribu untuk keperluan makan. 10 ribu untuk cicilan rentenir.
 
Sebuah tempat duduk dari batang pohon bambu tersemat di emper itu. Tempat itu tampak teduh. Ada pohon mangga Manalagi tumbuh kokoh di dekatnya. Pohon mangga dengan buah yang tak terlalu besar namun rasanya sangat manis meski terbilang masih muda. Rasa manis yang menggoda itulah yang kerap membikin orang-orang ingin nambah lagi ketika memakannya. Mungkin karena orang-orang selalu bertanya "mana lagi mangganya", buah mangga ini akrab dikenal dengan mangga Manalagi.
 
"Maaf Dik Bayu, saya tidak bisa pasang dan menyetel gir sepeda. Bawa ke Yak Solikin aja. Dia lebih mahir."
"Ah, Yak Solikin antrenya banyak, Pak Syam. Saya butuh yang cepat. Soalnya nanti sore mau saya pakai."
"Tapi..."
"Kemarin saya lihat Pak Syam pasang gir sepedanya Dik Salim. Pak Syam pasti bisa. Ayolah Pak, tolong sekali ini ya."
 
Memang benar, belakangan ini bersepeda menjadi hobi yang menjamur dan digandrungi banyak orang. Tepatnya sejak ditetapkannya pembatasan aktifitas warga akibat adanya wabah, banyak orang yang banting setir menjadi pecinta sepeda. Entah itu dengan alasan benar-benar hobi dan untuk menjaga kesehatan atau hanya ikut-ikutan trend belaka. Bahkan atau hanya sekadar bertaruh gengsi dan pamer. Terlepas dari semua itu, yang jelas toko dan bengkel sepeda angin menjadi ramai dikunjungi orang. Stok sepeda angin dan onderdilnya menjadi langka bahkan melonjak dari harga normal.
 
Aku jadi teringat dengan harga burung beberapa waktu lalu yang begitu melangit. Semua orang berburu burung. Hari-harinya hanya diisi dengan bermain burung. Sebuah bisnis yang begitu menjanjikan. Orang-orang menjadi peternak burung. Pada giliran panen, harga burung di pasaran anjlok. Lebih menengok ke belakang lagi. Ada ikan dan tanaman hias. Nasibnya juga sama. Peternak, petani, dan pecintanya dibikin pusing. Segalanya perlahan tampak mengering. Dan kini bergulir pada sepeda angin yang mulai memanas di tengah dingin para warga dalam kepungan wabah.
 
Setiap pagi dan sore pemandangan di jalan poros desa selalu disuguhi orang-orang yang bersepeda.  Ada yang sendiri. Ada pula yang berkelompok; satu keluarga atau club sepeda. Sepeda yang digunakan pun cukup variatif. Mulai dari harga yang rendah -hanya ratusan ribu- hingga ada yang nominal sepedanya mencapai puluhan juta. Mereka yang bersepeda tidak hanya warga desa sendiri melainkan orang-orang dari desa sebelah atau mereka yang berasal dari suatu desa nun jauh di sana.
 
Jalanan menjadi sesak. Pasalnya mereka yang bersepeda dalam satu kelompok kerap berjajar. Tidak seperti pada umumnya bersepeda tempo dulu yang selalu berbaris rapi berurutan. Untuk sekadar ingin mendahului para pesepeda itu, para warga yang mau ke sawah atau ke pasar harus bersusah payah dan berada pada satu moment yang pas. Maklumlah, meskipun dibilang jalan poros, jalanan di desa kebanyakan sempit. Rata-rata hanya memiliki lebar 3-4 meter. Belum lagi sepeda warga yang memiliki keranjang bawaan atau berpapasan dengan pesepeda yang dari arah berlawanan.
 
"Ya sudah Dik Bayu tidak apa-apa. Saya akan mencobanya. Tapi jangan mengeluh ya kalau hasilnya tidak memuaskan, sepedanya?" tutur Pak Syam memastikan.
 
"Iya tidak apa-apa Pak Syam. Yang penting terpasang dan nanti sore saya bisa goes." balas Bayu menegaskan.
 
Pak Syam mulai membongkar gir sepeda Bayu yang lama. Diambilnya beberapa kunci sepeda yang ada di gerobak dagangannya. Ia memanfaatkan kunci-kunci itu karena selama ini memang belum pernah menerima jasa perbaikan sepeda sehingga tak punya kunci secara pribadi. Ini adalah kali pertama Pak Syam melakukannya untuk orang lain selain milik keluarganya. Hanya dagangan itulah yang menjadi satu-satunya kunci yang dapat dimanfaatkan saat ini.
 
Gir itu lalu digantinya dengan gir yang baru. Tampak dikayuhnya pedal sepeda beberapa kali dengan tangannya. Diamatinya pergerakan rantai pada gir. Dikupingnya suara deritan dalam setiap putarannya. Dinaik-turunkan operan gir itu. Dilonggar-kencangkan bautnya. Setiap ada hal yang dirasanya kurang pas, Pak Syam langsung mengotak-atik stelan baut gir dan koloran kabel operannya. Meskipun ini kali pertama menyetel sepeda orang lain, Pak Syam tampak menguasai betul masalah sepeda. Tak dibiarkannya sedikitpun gir itu mengalami kendala. Dan setelah dirasa cukup, Pak Syam meminta Bayu untuk mencoba sepedanya.
 
Ada senyum yang mengembang terlukis di bibir Bayu. Dari senyum itu, hatinya seolah menunjukkan kepuasan atas kinerja Pak Syam. Diulurkannya selembar uang kertas berwarna hijau oleh Bayu kepada Pak Syam. Ada tulisan angka dengan nominal 20000 rupiah pada lembar uang itu. Ditolaknya uang itu oleh Pak Syam. Tapi Bayu masih bersikeras memberikannya. Diselipkannya selembar uang itu di saku baju Pak Syam lalu Bayu bergegas pergi dengan mengayuh kencang-kencang sepedanya seraya meninggalkan Pak Syam.
 
"Dik Bayu... bekas girnya!" teriak Pak Syam lantang.
"Ambil saja Pak Syam, tidak apa-apa."
"Terima kasih Dik Bayu."
 
Setelah Bayu, beberapa orang juga mendatangi Pak Syam di rumahnya. Mereka memiliki satu tujuan yang sama. Mengganti dan memperbaiki onderdil sepedanya yang dirasa kurang nyaman atau rusak. Setidaknya ada satu sampai dua orang yang memperbaiki sepedanya kepada Pak Syam setiap hari. Mayoritas onderdil yang telah diganti selalu ditinggal oleh pemiliknya. Dari sinilah Pak Syam memanfaatkan onderdil bekas yang masih layak pakai untuk dijual kepada orang yang membutuhkannya. Kini setiap hari, rumah Pak Syam semakin ramai dikunjungi para pecinta sepeda angin. Rumah itu seketika berubah menjadi tempat mangkal para pecinta sepeda.
 
Sebuah jalan setapak mulai tampak membentang di mata Pak Syam. Disisirnya jalan itu dan dipungutlah sedikit demi sedikit serpihan rizki yang berserak. Sebuah kenikmatan yang tak layak untuk dilupakan. Seperti mengayuh sepeda angin, pelan tapi pasti, ia menggeser masalah ekonomi. Pelan tapi pasti, ia beralih profesi. Pelan tapi pasti, ia menikmati sisa usia yang mendekati usai. Sementara, orang-orang semakin ramai menunggu pekerjaan Pak Syam selesai dan melupakan berapa mangga yang telah dinikmatinya ini hari.
***
 
Lamongan, Jawa Timur.
 

*) Imamuddin SA, nama aslinya Imam Syaiful Aziz, lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin. https://sastra-indonesia.com/2021/02/jalan-tengah/

Tidak ada komentar:

Forum Sastra Lamongan

Imamuddin SA

Penulis bernama asli Imam Syaiful Aziz. Lahir di Lamongan 13 Maret 1986. Aktif di Kostela, PUstaka puJAngga, FSL, FP2L, dan Literacy Institut Lamongan. Karya-karyanya terpublikasi di: Majalah Gelanggang Unisda, Majalah Intervisi, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, Majalah Indupati, Warta Bromo, dan Radar Bojonegoro. Puisi-puisinya terantologi di: Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Memori Biru, Khianat Waktu, Kristal Bercahaya dari Surga, Gemuruh Ruh, Laki-Laki Tak Bernama, Kamasastra, Tabir Hujan, Sehelai Waktu, Kabar Debu, Tabir Hijau Bumi, Bineal Sastra Jawa Timur 2016, Pengembaraan Burung, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, dan Serenada. Prosa-prosanya terpublikasi di: Mushaf Pengantin, antologi cerpen Bukit Kalam, Hikayat Pagi dan Sebuah Mimpi, Bocah Luar Pagar, Hikayat Daun Jatuh, dan Tadarus Sang Begawan. Pernah dinobatkan sebagai Juara 3 Mengulas Karya Sastra Tingkat Nasional tahun 2010, Harapan 2 Lomba Menulis Cerpen Tingkat Jawa Timur 2018, dan Juara 2 Lomba Menulis Puisi Se-Kabupaten Lamongan 2019. Nomor telepon 085731999259. Instagram: Imamuddinsa. FB: Imamuddin.